Jika rata-rata perempuan tak suka dicemburui oleh pasangan, saya justru menunggu-nunggu saat suami mencemburui saya. Terdengar aneh mungkin, tapi nyatanya memang begitu. Saya senang jika suami saya sedang cemburu.
Kenapa? Karena suami saya memperlihatkan cemburunya pada saya ketika saya melakukan sesuatu yang tak baik atau mengatakan hal yang tidak ada manfaatnya. Istri mana yang tak bahagia, memiliki suami yang selalu menjadi pengingat kebaikan.
Contoh yang sering terjadi selama ini adalah dia selalu mengingatkan saya untuk memakai gamis/rok yang lebar dan longgar agar tak membentuk tubuh, mengingatkan saya untuk mengenakan kerudung yang modelnya lebih panjang dan tidak menerawang, khawatir saat saya terlupa mengenakan kaus kaki dan manset. Ya, saya mempersepsikan hal itu sebagai rasa cemburunya. Cemburu jika aurat istrinya nampak di hadapan non mahram. Cemburu jika ia melihat saya mulai menjauh dari kebaikan apalagi mulai menjauh dari taat.
Pernah suatu hari, saya lupa memakai dalaman kerudung untuk rangkapan kerudung yang agak tipis. Suami saya menegur saya, namun dengan cara yang sama sekali tidak membuat saya malu atau sebal mendengarnya. Begini kira-kira,
Suami: “sayang, mau ngga ayah kasih ladang pahala?”
Saya: “mau atuh, masa iya ngga mau. apa yah?”
Suami: “kerudungnya ganti dong bun, pakai yang lebih tebal dari ini. rambut kan hak suami, jangan dikasih lihat orang lain. kalau buat di rumah, boleh lah pakai kerudung itu.”
Saya menganggapnya sebagai bentuk kecemburuan dia dan saya senang mendengarnya. Padahal saat itu saya dan suami sudah siap berangkat ke kantor. Tapi dia dengan sabar menunggu saya mengganti kerudung terlebih dahulu.
Pernah saya bertanya, kenapa dia suka ‘protes’ dengan penampilan atau dengan sikap saya.
“ayah ga mau jadi suami yang dayyuts (tidak ada rasa cemburu pada istri), bun. lagian, jeleknya bunda, jeleknya ayah juga. baiknya bunda, baiknya ayah juga. semoga bunda ngga bosan ayah ingatkan. kalau bukan ayah yang mengingatkan, siapa lagi? mau kan bunda bantu ayah di akhirat nanti?”
Bulir-bulir kecil langsung mengalir di pelupuk mata. Sambil mengangguk, saya berbaring di pangkuannya. Tak ada yang salah dengan jawabannya, yang salah ada ketidakmampuan saya untuk peka terhadap kebaikannya.
MasyaaAllah, Tabarakallah abang..
You must be logged in to post a comment.